Ampera Musi

Lubuk Informasi Seputar Musi

Mati atau Hidup Sebagai Anak Ibu

Mati atau Hidup Sebagai Anak Ibu

Cerita T.WIJAYA

Malam itu, 22 April 2012, dia menjadi orang yang paling terkenal di
seluruh dunia. Saat pulang ke rumah dia bukan hanya seorang pengamen,
yang sering dilihat banyak orang saat mengamen di bus kota. Dia telah
mewujudkan mimpi yang dipupuknya sejak kecil sebagai anak ibu.

“Ibu, aku telah merobohkan Jembatan Ampera,” katanya.

Sang ibu tersenyum. Dielus kepala anak keduanya itu.

“Jika dia masih hidup, bapakmu pasti sangat bangga.”

Dia tersenyum bangga. Lampu neon 25 watt yang tergantung di kamar
ibunya berkedip. Dia terus tersenyum di hadapan sang ibu yang sudah
sepuluh tahun terbaring di dipan. Kedua tangan dan kakinya lumpuh.

Di luar rumah, seribuan orang menunggunya. Mereka membawa beragam senjata tajam.

Tahun 1960 hingga 1962, bapaknya memimpin rakyat Palembang menolak
pembangunan Jembatan Ampera. Mereka menolak pembangunan jembatan
tersebut, sebab pembiayaan pembangunan jembatan yang dikatakan hasil
sumbangan pemerintah Jepang, tidaklah benar. Pemerintah Jepang hanya
membantu dengan mendatangkan para tenaga ahli dan peralatan dalam
pembangunan jembatan tersebut. Mereka yakin dananya hasil dari
penjualan benda-benda berharga, peninggalan Kerajaan Palembang, yang
ditemukan saat pembongkaran dan penggalian di Kuto Gawang, buat lokasi
PT Pupuk Sriwidjaja.

Dana hasil penjualan benda-benda purba itu, seperti arca emas, keris
emas, serta benda berharga lainnya, yang dilangsungkan di London,
selain buat pembangunan Jembatan Ampera juga pembangunan Monumen
Nasional (Monas) dan Stadion Istora Senayan di Jakarta.

Bapaknya menolak dana dari penjualan benda-benda purbakala tersebut
hanya digunakan buat membangun sejumlah proyek mercusuar-nya Bung
Karno. “Rakyat Palembang kelaparan. Rakyat Indonesia kelaparan. Kenapa
dana sebanyak itu tidak dibagikan kepada rakyat, agar mereka memiliki
modal buat memperbaiki hidup,” kata bapaknya.

Setelah melakukan sejumlah aksi di Palembang, bapaknya bersama
teman-temannya melakukan aksi ke Istana Negara di Jakarta. Tak ada
bentrokan dengan aparat keamanan saat mereka melakukan aksi. Namun
dalam perjalanan pulang ke Palembang, bapaknya terjatuh dari kapal
saat menyeberangi Selat Sunda. Tak ada saksi bagaimana bapaknya
terjatuh. Yang jelas, ketika teman-temannya tengah makan di kantin,
dia pergi ke kamar mandi. Tak lama kemudian, mereka mendapatkan kabar
ada seorang lelaki terjatuh dari kapal.

“Nang, sekali lagi ibu sangat bangga padamu.”

Orang-orang di luar rumah sudah tidak sabar menunggunya keluar. Mereka
berteriak sambil mengacungkan parang, tombak, dan pedang.

“Bagaimana kau merobohkan Jembatan Ampera?”

Dia menceritakan. Setiap kali pulang dari mengamen. Dia membeli
sebungkus cuka para dengan temannya yang bekerja di toko kimia di
kawasan Pasar Cinde. Cuka para ini kemudian dia siramkan di setiap
sudut Jembatan Ampera, terutama di dekat kaki jembatan. Penyiraman
cuka para itu dilakukannya selama tiga tahun. Selanjutnya selama lima
tahun dia membuka setiap baut di jembatan tersebut.

“Tidak selalu lancar saat membuka baut. Terkadang satu baut harus
dibuka selama sebulan, karena berkarat atau menghindar dari
penglihatan orang,” katanya.

Agar tidak dicurigai, sehabis mengamen, dia pun menjadi seorang
pengemis yang mangkal di tangga naik Jembatan Ampera. Saat jembatan
terlihat sepi, dia pun melakukan aksi membuka baut.

“Kapan robohnya?”

“Dua hari lalu. Sekitar pukul 03.00 dini hari. Hanya beberapa orang
yang mati. Itu pun sebagian para banci yang mau pulang ke rumah. Hari
ini aku jumpa pers, mengakui kalau robohnya jembatan itu karena
perbuatanku.”

“Bagus.”

“Ya, Bu. Aku tidak mau orang yang tidak bersalah akan ditahan polisi.
Aku pun tidak mau para teroris yang mendapatkan nama.”

Ibunya kembali tersenyum.

Orang-orang terus berteriak. Kini mereka melempari kaca rumah.

“Cepat temui mereka. Mati atau hidup sebagai anak ibu. Percayalah,
tidak ada benda yang abadi di dunia ini, yang abadi itu hanya
keyakinan.”

Dia pun meninggalkan ibunya di kamar. Baru selangkah keluar dari pintu
rumahnya, ratusan orang langsung menyerang dengan berbagai senjata
tajam. Membacok dan menusuk tubuhnya. Dia tersenyum.

SETELAH kematiannya, seperti biasanya, dia membangunkan malam.
Katanya, akulah pembelah langit dan menjadikan pagi harimu semacam
ketakutan yang tak mampu dijawab dengan kesombongan dan mimpimu
menjadi yang terbaik dan terkuat di tanahku, di lautku, di langitku.

Seseorang terdiam. Seseorang yang hina, kalah, yang terombang-ambing
dalam kisah masa lalunya di tepi Sungai Musi, merayap menemui perahu.
Perahu dibakarnya. Berharap ada cahaya di tengah malam.

Orang-orang terbangun. Mereka menari meskipun tak ada lagi Jembatan
Ampera. Mereka menyambut cahaya dengan bulan yang sembunyi.

Ada yang muncul dari dalam air. Dia memadamkan api yang membakar
perahu. Dia pun berdiri di atas air. Katanya, seseorang yang merasa
dirinya ada, sesungguhnya tidak ada. Sebab ada tidak dapat dimiliki
oleh seseorang. Seseorang hanya menutupi kekurangannya, yang setiap
napasnya akan melahirkan sejuta kekurangan. Makanya, seseorang disebut
manusia.

Orang-orang terdiam. Kembali ke rumah masing-masing. Hanya sebagian
memiliki rumah batu. Lainnya memburu kasur di petak-petak kamar di
kolong rumah panggung kayu. Tak ada seseorang. (*)

Tinggalkan komentar